Keterangan hadits:
– man naffasa: siapa yang melapangkan
– kurbah: kesusahan, kesempitan
– yassara: memudahkan
– ‘ala mu’sir: pada yang memiliki kesulitan sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)
– wa man sataro musliman: menutup aib seorang muslim, yaitu menutup aib berkaitan dengan muruah (kesopanan), aib dalam agama dan amal.
– yassarallahu ‘alaihi fid dunyaa wal aakhirah: maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Ini mencakup kemudahan dalam hal harta, kemudahan dalam beramal, kemudahan dalam pengajaran, dan lainnya. Kemudahan yang jadi balasan adalah kemudahan dalam hal apa pun.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 385)
– wallahu fii ‘aunil ‘abdi maa kaanal ‘abdu fii ‘auni akhihii: Siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia menolong saudaranya sebelumnya. Hadits ini tidaklah diterjemahkan, “Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya”. Kata selamanya di sini tidak tepat–menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin–. Pengertian itu berarti Allah tidak menolong hamba ketika ia tidak menolong saudaranya. Dengan kata lain akan dipahami, pertolongan Allah itu tergantung pada menolong saudaranya. Dengan terjemahan yang salah seperti ini, nanti akan dipahami bahwa pertolongan Allah itu sama dengan pertolongan seseorang pada saudaranya.
– wa man salaka thariqan: ia memasuki ilmu dan berjalan di dalamnya.
– yaltamisu fiihi ‘ilman: mencari ilmu. Yang dimaksud mencari ilmu di sini adalah ilmu syari. Adapun ilmu dunia seperti ilmu teknik, tidaklah masuk dalam hadits ini.
– sahhalallahu lahu thariqan ilal jannnah: ia akan dimudahkan oleh Allah pada jalan menuju surga. Allah memberinya hidayah taufik pada jalan menuju surga.
– buyutillah: masjid, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ , رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nuur: 36-37)
– yatluuna kitaaballah: membaca kitabullah, yakni membacanya secara lafaz dan makna, termasuk juga mempelajari makna Al-Qur’an.
– wa yatadaarosuuna lahu baynahum: belajar Al-Qur’an antara satu dan lainnya.
Mereka yang berkumpul di masjid dan saling mempelajari Al-Qur’an, maka akan mendapatkan:
- Mendapatkan sakinah, yaitu ketenangan hati dan lapangnya dada.
- Mendapatkan rahmat dari Allah.
- Dikelilingi malaikat.
- Allah menyebut mereka di sisi malaikat yang lebih mulia.
– wa man batthoa bihi ‘amaluh, lam yusri’ bihi nasabuh: siapa yang menunda amalan, malas beramal, maka garis keturunannya tidaklah manfaat. Karena yang paling mulia adalah yang paling bertakwa sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Menuntut Ilmu itu Jalan Ringkas Menuju Surga
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata bahwa menempuh jalan dalam menuntut ilmu ada dua makna:
- Menempuh jalan secara hakiki yaitu dengan berjalan menuju majelis ilmu para ulama.
- Menempuh jalan secara maknawi yaitu dengan menempuh cara bisa diraihnya ilmu, seperti dengan menghafalkan, mempelajari, mudzakarah (saling mengingatkan), muthala’ah (mengkaji), menulis atau berusaha memahami ilmu. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:297)
Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang berjalan, bersepeda atau berkendaraan menuju majelis ilmu, sudah termasuk dalam balasan hadits di atas. Begitu pula yang begadang dalam menghafal, menulis atau menelaah, itu juga termasuk bagian dari pahala di atas. Bahkan semakin besar kesulitan yang diderita, semakin besar pula pahala yang diperoleh.
Semakin Sulit, Semakin Besar Pahala
Dalam kaedah yang dibawakan oleh As-Suyuthi rahimahullah dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320) disebutkan,
مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً
“Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.”
Dasar kaedah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ
“Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaedah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320).
Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur,
العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ
“Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.”
Semakin kita menemui kesulitan dalam mempelajari agama, pahalanya semakin besar.
Mudah Menuju Surga
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, ada empat makna sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali.
Pertama: Dengan menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkannya masuk surga.
Kedua: Menuntut ilmu adalah sebab seseorang mendapatkan hidayah. Hidayah inilah yang mengantarkan seseorang kepada surga.
Ketiga: Menuntut suatu ilmu akan mengantarkan kepada ilmu lainnya yang dengan ilmu tersebut akan mengantarkan kepada surga.
Sebagaimana kata sebagian ulama kala suatu ilmu diamalkan,
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ أَوْرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Siapa yang mengamalkan suatu ilmu yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak ia ketahui.”
Sebagaimana kata ulama lainnya,
ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا
“Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.”
Begitu juga dalam ayat disebutkan,
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS. Maryam: 76)
Juga pada firman Allah,
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآَتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17)
Keempat: Dengan ilmu, Allah akan memudahkan jalan yang nyata menuju surga yaitu saat melewati shirath (titian yang terbentang di atas neraka menuju surga, pen.).
Sampai-sampai Ibnu Rajab menyimpulkan, menuntut ilmu adalah jalan paling ringkas menuju surga. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:297-298)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Seharusnya setiap penuntut ilmu berusaha untuk meraih manfaat dari ilmu diin. Karena ilmu itu akan mengantarkan kepada Allah dan mempelajari ilmu adalah jalan yang paling singkat menghadap-Nya.
Siapa yang menempuh jalan dalam menuntut ilmu dan tidak berhenti dalam mencari ilmu, maka ia akan diantarkan kepada Allah dan dimudahkan masuk surga. Menuntut ilmulah jalan paling ringkas untuk masuk surga. Menuntut ilmu juga adalah jalan yang paling mudah untuk masuk surga. Ilmu ini akan menuntun pada berbagai jalan di dunia dan di akhirat untuk bisa masuk dalam surga.
Ingatlah, tidak ada jalan untuk mengenal Allah, untuk menggapai ridha-Nya, untuk makin dekat dengan-Nya, melainkan melalui ilmu bermanfaat yang dengan sebab ilmu itu para rasul diutus oleh Allah, dan sebab Allah menurunkan kitab. Ilmu itulah penuntun dan pemberi petunjuk ketika seseorang berada dalam gelap kebodohan, syubhat (pemikiran sesat) dan keragu-raguan. Oleh karena itu, Al-Qur’an disebut cahaya karena dapat menerangi jalan di saat gelap. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ ,يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 15-16) (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:297-298)
Faedah hadits:
- Keutamaan tiga hal: naffasa, yassara, sataro (melapangkan, memudahkan, menutup aib).
- Hari kiamat terdapat kesulitan yang luar biasa.
- Menutup aib seorang muslim itu dirinci:
– Bisa jadi menutupinya itu baik jika yang ditutupi adalah aib dari seseorang yang agamanya baik. Ia melakukan kesalahan lantas menyesalinya, maka menutupi aibnya itu terpuji dan baik.
– Bisa jadi menutupinya itu jelek jika yang ditutupi adalah aib dari orang yang gemar bermaksiat atau ia berbuat zalim pada yang lain dan akan terus membuatnya semakin rusak. Menutupi aib dalam kondisi seperti ini tercela. Aibnya bisa saja diungkap dan diberitahukan pada orang yang bisa mendidiknya. Misalnya, yang punya aib adalah seorang istri, berarti dilaporkan pada suaminya. Misal lainnya, yang punya aib adalah seorang anak, berarti dilaporkan pada bapaknya. Atau contoh lainnya, yang melakukan aib adalah seorang gurum ia dilaporkan pada kepala sekolah.
– Bisa jadi menutupinya tidak diketahui baik ataukah jelek, kondisi seperti ini menutupinya lebih baik. Kaedah yang berlaku dalam hal ini adalah hadits ‘Aisyah,
فَإِنَّ الإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِى الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِى الْعُقُوبَةِ.
“Jika imam itu salah dalam memberikan maaf, itu lebih baik, daripada ia salah dalam memberikan hukuman.” (HR. Tirmidzi, no. 1424 dan Al-Baihaqi, 8:238. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif). Namun, makna hadits ini benar adanya sehingga dipakai sebagai kaedah oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebagaimana dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 390-391.
- Menolong orang lain adalah jalan mendapatkan pertolongan Allah. Namun, kalau menolong dalam dosa, berarti dihukumi haram.
- Keutamaan menuntut ilmu syari, menuntut ilmu adalah jalan mudah menuju surga.
- Hendaklah bersegera dalam mencari ilmu dengan kesungguhan dan kerja keras karena semua orang ingin masuk surga dengan cara yang paling ringkas. Kalau menuntut ilmu adalah jalan ringkas menuju surga, kita harus sungguh-sungguh menempuhnya.
- Keutamaan majelis dzikir (majelis ilmu) yang berada di rumah Allah (masjid) dan keutamaan saling mengkaji Al-Qur’an yaitu mendapatkan ketenangan, dinaungi rahmat, dikelilingi malaikat, dan disanjung oleh Allah di hadapan makhluk-Nya yang lebih mulia.
- Membaca Al-Qur’an dengan berkumpul itu ada tiga bentuk:
– Membaca bersama-sama dengan satu suara, kalau dalam rangka pengajaran, tidaklah masalah. Seperti pengajar membaca ayat, lalu murid-muridnya mengikuti dan membaca bersama-sama.
– Membaca Al-Qur’an dengan cara yang satu membaca dan yang lainnya diam, kemudian saling bergiliran untuk membaca, seperti ini tidaklah masalah.
– Membaca Al-Qur’an dengan cara masing-masing membaca untuk dirinya, yang lain tidak menyimak atau memerhatikan, seperti ini yang kita lihat di masjid-masjid.
- Sebaik-baik tempat adalah masjid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا.
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar.” (HR. Muslim, no. 671, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
- Nasab tidaklah bermanfaat di akhirat. Karena kita dinilai dengan amalan, bukan dengan nasab. Janganlah seseorang tertipu dengan nasabnya yang mulia.
- Keutamaan bersaudara dalam Islam.
Kaedah dari hadits:
- Al-jazaa’ min jinsil ‘amal, balasan tergantung amal perbuatan.
- At-tafaadhul bil a’maal laa bil ansaab wal ahsaab, keutamaan seseorang dilihat dari amal, bukan dari nasab dan kedudukan.
Sumber https://rumaysho.com/24055-hadits-arbain-36-rajin-menolong-ringan-tangan.html
Mengangkat Kesulitan Orang Lain
Menit ke-8:34 Kurbah adalah kesulitan yang sangat luar biasa, posisi terjepit. Tentunya ketika sedang menghadapi kondisi seperti itu kita sangat butuh bantuan orang lain.
Kondisi terjepit ini diumpamakan seperti orang yang sedang tercekik. Maka kalau orang yang mencekiknya memberikan kesempatan untuk bernafas dinamakan tanfis (تنفيس) atau memberikan nafas. Oleh karena itu barangsiapa yang memberi nafas (meringankan kesulitan besar) seorang muslim, maka Allah akan meringankan kesulitan besarnya pada hari kiamat kelak.
Ini adalah contoh dari kaidah:
الجزاء من جنس العمل
“Pahala itu sejenis dengan amalannya.”
Di sini, orang yang meringankan kesulitan orang lain dijanjikan akan mendapatkan kemudahan ketika menghadapi kesulitan pada hari kiamat.
Saat orang menghadapi kesulitan, maka kita dituntut untuk membantunya dengan satu dari dua hal; yang pertama yaitu dengan meringankan kesulitan itu, yang kedua dengan menghilangkan semua kesulitan itu. Kalau kita bisa mengangkat kesulitan itu dengan paripurna, maka itu yang terbaik. Tapi kalau tidak bisa maka kita berusaha untuk meringankan kesulitan orang tersebut.
Yang pertama, meringankan kesulitan disebutkan oleh hadits Abu Hurairah (yang sedang kita bahas ini). Sedangkan yang mengangkat kesulitan secara tuntas, ini disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar:
ومَن فَرَّجَ عن مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عنْه بها كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَومِ القِيامَةِ
“Barangsiapa yang mengangkat kesulitan seorang muslim, maka Allah akan mengangkat kesulitannya pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memudahkan Urusan Orang Lain
Menit ke-14:31 Selanjutnya Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan: “Dan barangsiapa yang memudahkan urusan orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat.”
Amalan yang dilakukan adalah memudahkan orang yang sedang susah, pahala yang diraih adalah dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat. Sementara kita mengetahui bahwasanya urusan akhirat adalah urusan yang berat. Hari kiamat disebut sebagai يوم عسير (hari yang sulit). Maka pada hari kiamat kelak kita membutuhkan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau kita ingin kesulitan kita di akhirat dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hendaknya kita banyak-banyak membantu urusan orang lain, memudahkan urusan mereka sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Memudahkan/membantu urusan orang yang sedang kesulitan ini bentuknya bisa bermacam-macam. Salah satu contohnya adalah dengan memberikan tempo yang lebih panjang bagi mereka untuk membayar utang yang kita berikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ…
“Dan jika si peminjam uang adalah orang yang memiliki kesulitan, maka hendaklah si pemberi pinjaman memberikan tambahan tempo sampai si peminjam lepas dari kesulitannya…” (QS. Al-Baqarah[2]: 280)
Bisa juga dengan memaafkannya dengan menggugurkan tanggungan dia (baik sebagian atau seluruhnya). Ini juga adalah salah satu contoh memberikan kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan. Atau bisa juga dengan memberikan bantuan kepada orang tersebut berupa makanan, pakaian, atau barang yang bisa membuat dia terlepas dari kesulitan yang sedang dihadapi.
Dan perintah untuk memberikan kemudahan kepada orang lain ini juga dianjurkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits:
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَجَاوَزُوا عَنْهُ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ
“Dahulu ada seorang pedagang yang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang fakir. Dan jika ada orang yang kesulitan untuk membayar, maka dia mengatakan kepada anak-anaknya: ‘Maafkanlah mereka (gugurkanlah kewajiban utang mereka), barangkali dengan begitu Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan dan mengampuni kita.’ Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni pedagang yang baik ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwasanya berbuat baik kepada orang lain bisa menjadi penggugur dosa-dosa kita. Kita semuanya memiliki banyak dosa dan kita semuanya harus memiliki sebab-sebab dan amalan-amalan yang bisa menggugurkan dosa-dosa, salah satunya adalah dengan membantu/memudahkan orang yang sedang kesulitan.
Menutupi Aib Seorang Muslim
Menit ke-22:06 Potongan hadits yang ketiga adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.”
Kita semuanya punya aib, kita semuanya punya dosa-dosa yang kita tidak ingin orang lain mengetahuinya. Kalau kita adalah orang yang khawatir aib kita terbongkar, maka salah satu kiatnya adalah dengan menutup aib orang lain. karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjanjikan “barangsiapa yang menutupi orang lain, maka Allah akan menutup aib kita.”
Hadits ini diperkuat oleh hadits Abu Barzah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai sekalian orang yang telah beriman dengan lisannya namun iman belum masuk ke hatinya, jangan kalian mengghibah orang-orang Islam, dan jangan kalian cari-cari kesalahan mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari kesalahan orang-orang Islam, maka Allah akan mencari-cari kesalahan-kesalahannya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari kesalahannya, maka Allah akan bongkar kesalahan-kesalahan itu di rumahnya sendiri.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ini adalah sebuah ancaman yang menakutkan bagi mereka yang suka membongkar aib orang lain dan mencari-cari kesalahan mereka. Kalau kita melakukan hal itu, maka Allah yang akan membongkar aib dan kesalahan kita.
Sebaliknya, kalau kita menutup aib orang lain, maka Allah yang akan mengamankan aib-aib kita dan menutupnya dari orang lain baik di dunia maupun di akhirat.
Ibnu Rajab Al-Hambali meriwayatkan dari sebagian ulama Salaf, bahwasanya mereka mengatakan: “Kami telah mendapati orang-orang yang tidak memiliki aib, tapi mereka suka menyebar aib orang lain. Maka kemudian setelah itu orang-orang menyebutkan aib mereka. Sebaliknya, kami mendapati orang-orang yang punya banyak aib, tapi mereka diam dan tidak mau membongkar aib orang lain. Maka aib mereka dilupakan oleh manusia.”
Menolong Orang Lain
Menit ke-27:37 Potongan hadits yang keempat, “Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong seorang hamba selagi dia menolong hamba yang lain.” Ini senada dengan hadits Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ
“Barangsiapa yang memenuhi hajat seorang muslim, maka Allah akan memenuhi hajatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian salafush shalih mensyaratkan kepada teman seperjalanan dengan mengatakan: “Aku mau safar denganmu tapi dengan syarat aku yang menjadi pelayanmu.” MasyaAllah ini adalah sebuah teladan agung yang dilakukan oleh generasi awal umat Islam. Ini semuanya terinspirasi dari sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Allah akan memenuhi hajat seorang hamba selagi orang tersebut memenuhi hajat orang lain.”
Sehingga para ulama kita menyimpulkan bahwasanya ibadah sosial seperti membantu orang lain, memenuhi hajat mereka, ini adalah amal shalih yang mereka pandang lebih utama dari i’tikaf, lebih utama daripada haji, umroh dan shalat. Karenanya para ulama membuat sebuah kaidah fiqih:
الخير المتعدي افضل من القاصر
“Kebaikan yang manfaatnya menular kepada orang lain, itu lebih utama daripada kebaikan yang manfaatnya hanya untuk diri kita sendiri.”