Bacalah syarah hadits ini

Hadits ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits riwayat Al-Bukhari:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai dia mencintai aku lebih daripada cintanya kepada anak-anaknya, orang tuanya dan manusia semuanya.” (HR. Bukhari)

Yang dinafikan dalam kedua hadits ini adalah kesempurnaan iman yang wajib. Yang dinafikan bukan pokok iman. Sehingga kalau masih ada sebagian dari kita yang kecintaannya masih tidak mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kalau kecintaannya masih menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka berarti dia tidak kafir. Karena yang dinafikan adalah kesempurnaan iman. Tapi dia berdosa karena yang dinafikan dalam hadits ini adalah kesempurnaan iman yang wajib.

Jadi seorang muslim itu memiliki pokok iman. Kemudian juga memiliki kesempurnaan iman. Dan kesempurnaan iman ini ada yang wajib juga ada yang sunnah. Kalau yang dinafikan adalah kesempurnaan iman, maka itu adalah kesempurnaan iman yang wajib. Adapun kesempurnaan iman yang sunnah berupa amalan-amalan sunnah, maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menafikan iman seseorang ketika mereka meninggalkan kesempurnaan iman yang sunnah itu.

Di sini Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menafikan iman dari umat Islam yang masih menjadikan cintanya menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau mengatakan:

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai dia menjadikan kecintaannya mengikuti kebenaran yang aku bawa.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala menambahkan bahwasanya yang lebih sering terjadi adalah sebagian orang itu mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, amalan-amalannya mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi ada sebagian yang masih tidak mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena kalau seandainya dia menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam segala sesuatu, maka tentunya dia bukan seorang muslim. Tapi dalam konteks seorang muslim, kalau dia menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka pastinya dia hanya menyelisihi sebagian saja. Tidak mungkin menyelisihi semuanya.

Oleh karenanya itulah yang membuat bahwasanya yang dinafikan dalam hadits ini adalah kesempurnaan iman yang wajib, bukan pokok iman, juga bukan kesempurnaan iman yang sunnah.

Kemudian bisa juga kita menerjemahkan hadits ini dengan mengatakan: “Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti kebenaran yang aku bawa.”

Di sini menunjukkan bahwa nafsu itu kadang-kadang bermakna positif, kadang-kadang bermakna negatif.