Keterangan hadits
- man ra-a: siapa yang melihat, maknanya adalah siapa yang mengetahui, walaupun tidak melihat secara langsung, bisa jadi hanya mendengar berita dengan yakin atau semisalnya.
- munkaran: segala yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, pelakunya diingkari untuk melakukannya. Kemungkaran di sini disyaratkan: (1) jelas kemungkaran yang disepakati oleh pihak yang mengingkari dan yang diingkari; atau (2) orang yang diingkari punya hujah yang lemah.
- minkum: yang dilihat dari kaum muslimin yang sudah mukallaf (yang sudah dikenai beban syariat).
- fal-yughayyirhu biyadihi: maka hendaklah mengubah dengan tangannya. Contoh, seseorang yang punya kuasa–misal: ayah pada anak–, ia melihat anaknya memiliki alat musik (tentu tidak boleh digunakan), maka ayahnya menghancurkannya.
- fainlam yas-tathi’ fa bi lisaanih: jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Yang mengingkari tetap bersikap hikmah dengan tetap melarang. Mengingkari dengan lisan termasuk juga mengingkari dengan tulisan.
- fabi-qalbihi: mengingkari dengan hatinya, yaitu menyatakan tidak suka, benci, dan berharap tidak terjadi.
- adh-‘aful imaan: selemah-lemahnya iman, yaitu menandakan bahwa mengingkari dalam hati itulah selemah-lemahnya iman dalam mengingkari kemungkaran.
Faedah hadits
Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan siapa saja yang melihat kemungkaran untuk mengubahnya sesuai kemampuan.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Pengingkaran dengan lisan dan tangan wajib dilakukan dengan melihat pada kemampuan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:245)
Kedua: Tidak boleh melarang kemungkaran sampai diyakini hal itu kemungkaran, di mana dilihat dari dua tinjauan:
(1) perbuatan yang dilakukan diyakini mungkar,
(2) perbuatan tersebut dianggap sebagai kemungkaran oleh pelaku. Karena ada sesuatu termasuk kemungkaran, namun pelaku tidak memasukkannya sebagai kemungkaran.
Contoh: Makan dan minum siang hari bulan Ramadhan adalah kemungkaran. Namun ada orang yang sakit boleh saja dia makan, atau ia termasuk musafir boleh saja ia tidak berpuasa.
Ketiga: Kemungkaran harus dinilai sebagai kemungkaran oleh yang mengingkari dan pelaku yang diingkari. Jika perkara yang diingkari adalah perkara khilafiyah (masih ada beda pendapat), tidak ada pelarangan kemungkaran pada orang yang mengira bahwa hal itu tidak termasuk kemungkaran.
Contoh: Kita melihat ada seseorang yang memakan daging unta, setelah itu ia langsung shalat. Yang ia lakukan tidak perlu diingkari. Masalah ini masuk dalam perkara silang pendapat. Sebagian ulama menyatakan, wajib berwudhu ketika memakan daging unta. Sebagian ulama mengatakan tidaklah wajib berwudhu. Namun, jika ingin membahas hal ini dan ingin menjelaskan kebenaran, tidaklah masalah.
Keempat: Apakah mengubah dengan tangan dilakukan untuk setiap keadaan? Jawabannya, tidak. Jika ada masalah, kita tidak perlu melarang kemungkaran dengan tangan. Kerusakan yang besar bisa saja terhindar, caranya dengan menerjang kerusakan yang lebih ringan.
Contoh: Ada yang melihat kemungkaran pada pemerintah. Kalau ia mengubahnya dengan tangannya, ia sebenarnya mampu. Namun, jika itu ditempuh, kerusakan akan terjadi. Kerusakan tersebut bisa jadi pada orang yang mengingatkan, pada keluarganya, pada orang-orang dekatnya yang mendukung dakwahnya. Jika kita takut kerusakan seperti itu, kemungkaran yang terjadi tak perlu diingkari. Hal ini sama maknanya dengan ayat,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)
Kelima: Tangan adalah aalatul fi’li (organ untuk berbuat) sehingga disebutkan dalam hadits ubahlah dengan tangan. Oleh karena itu, perbuatan seseorang disandarkan pada tangannya seperti ayat,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy-Syura: 30)
Keenam: Ajaran Islam itu tidak ada kesulitan. Kewajiban itu tetap melihat pada kemampuan seseorang (istitha’ah).
Ketujuh: Jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, ia mengubahnya dengan lisan. Jika tidak bisa dengan lisan, ia mengubahnya dengan hati. Bentuk mengubah dengan hati adalah tidak suka dan bertekad saat memiliki kemampuan akan mengubahnya dengan lisan atau dengan tangan.
Ulama lain menyebutkan bahwa mengingkari kemungkaran dalam hati dengan cara:
- Benci akan kemungkaran tersebut.
- Berpindah dari tempat kemungkaran tadi.
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Pengingkaran suatu kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap muslim dalam segala keadaan. Adapun pengingkaran dengan tangan dan lisan dipandang dari kemampuan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:246)
Kedelapan: Hati juga memiliki amalan. Hadits di atas menyebutkan, ubahlah dengan tangan, selanjutnya menyebutkan ubahlah dengan hati.
Kesembilan: Iman itu terdiri dari amal dan niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan dalam mengubah kemungkaran ada amal dan niat. Mengubah kemungkaran dengan tangan termasuk amal. Mengubah kemungkaran dengan lisan termasuk amal. Mengubah kemungkaran dengan hati termasuk dalam niat.
Kesepuluh: Kemungkaran diingatkan dengan cara yang halus dan lemah lembut. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan,
لاَ يَأْمُرُ بِالمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ المُنْكَرِ إِلاَّ مَنْ كَانَ فِيْهِ خِصَالٌ ثَلاَثٌ : رَفِيقٌ بِمَا يَأْمُرُ ، رَفِيْقٌ بِمَا يَنْهَى ، عَدْلٌ بِمَا يَأْمُرُ ، عَدْلٌ بِمَا يَنْهَى ، عَالِمٌ بِماَ يَأْمُرُ ، عَالِمٌ بِمَا يَنْهَى
“Hendaklah memerintah pada yang makruf dan melarang dari kemungkaran dengan tiga hal:
- Lemah lembut ketika memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.
- Bersikap adil ketika memerintah dan melarang.
- Berilmu pada apa yang akan diperintahkan dan yang akan dilarang.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:256)
Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan perkataan Imam Ahmad berikut ini,
وقال أحمد : النّاسُ محتاجون إلى مداراة ورفق الأمر بالمعروف بلا غِلظةٍ إلا رجل معلن بالفسق ، فلا حُرمَةَ له ، قال : وكان أصحابُ ابن مسعود إذا مرُّوا بقومٍ يرون منهم ما يكرهونَ ، يقولون : مهلاً رحمكم الله ، مهلاً رحمكم الله .
“Imam Ahmad berkata, ‘Manusia itu membutuhkan sikap lemah lembut (mudaaroh) dan lemah lembut ketika diingatkan pada kebaikan dan kemungkaran. Hal yang dikecualikan adalah orang yang terang-terangan dalam kefasikan, maka ia tidak dimuliakan. Para murid Ibnu Mas’ud jika melewati sekelompok orang yang mereka pandang sedang berbuat jelek, mereka mengatakan, ‘Tak perlu tergesa-gesa, tak perlu tergesa-gesa, semoga Allah merahmati kalian.’” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:256)
Dilanjutkan oleh Imam Ibnu Rajab, Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يأمر بالرِّفقِ والخضوع ، فإن أسمعوه ما يكره ، لا يغضب ، فيكون يريدُ ينتصرُ لنفسه .
“Perintah lemah lembut dan halus tetap ada walaupun sedang mendengar kemungkaran yang tidak disukai. Saat itu, janganlah dahulukan emosi. Itulah orang yang disebut meraih kemenangan pada momen tersebut.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:256)
Kaedah dari hadits
- Mengingkari kemungkaran itu sama dengan menasihati, bukan menjelekkan.
- Mengingkari kemungkaran itu berdasarkan apa yang dilihat, bukan dari tajassus (mencari-cari aib orang beriman).
- Hendaklah mengajak yang baik dengan cara yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran dengan cara yang mungkar.
- Masalah khilafiyah tidak diingkari dengan meninjau:
- khilafnya kuat; sehingga tidak boleh mengatakan pada yang berbeda dengan kita sebagai orang yang menyelisihi sunnah.
- orang yang kita kira terjatuh dalam kemungkaran menganggapnya masih boleh.
Walhamdulillah, penuh faedah dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luar biasa. Moga kita semakin bijak dalam berdakwah dan amar makruf nahi mungkar.
Sumber https://rumaysho.com/23958-hadits-arbain-34-mengubah-kemungkaran.html
aturan mengubah kemungkaran
Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah amal shalih dalam Islam. Islam mendorong kita untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam keluarga, dalam lingkungan, dan dalam masyarakat yang kita tinggali. Tapi Islam juga menjelaskan tentang tata caranya.
Merubah kemungkaran yang diketahui
Kita dalam keseharian tentunya melihat kemungkaran-kemungkaran. Seorang muslim dituntut untuk mengubah kemungkaran itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan: “Barangsiapa di antara kalian yang melihat/mendengar/mengetahui kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya.”
Potongan hadits yang pertama ini menunjukkan bahwasanya yang kita ubah adalah kemungkaran yang kita lihat langsung (tanpa harus mencari dan memata-matai). Jadi tidak boleh memata-matai rumah seseorang hanya demi untuk mendapatkan kemungkaran di rumah itu kemudian kita akan mengubah kemungkaran tersebut.
Kecuali kemungkaran yang memang direncanakan secara sembunyi-sembunyi yang kalau tidak kita antisipasi maka akan menimbulkan korban. Misalnya ada rencana pembunuhan atau pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Jika diketahui bahwasanya ada rencana jahat seperti itu maka boleh bagi seorang pemimpin untuk memata-matai orang-orang seperti itu kemudian mengambil sikap antisipatif agar jangan sampai keburukan tersebut terjadi.
Siapa yang berhak merubah kemungkaran dengan tangan?
Para ulama sudah menjelaskan bahwa yang boleh mengubah kemungkaran dengan tangannya adalah para waliyyul amr/sultan/raja/presiden/pembantu sultan/pemimpin umat Islam dalam wilayah-wilayah umum.
Mereka adalah pemegang tampuk kekuasaan dalam sebuah masyarakat Islam. Sehingga mereka punya kewajiban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak rakyat kepada kebaikan-kebaikan, kepada amal shalih, kepada ibadah, juga menghentikan kemungkaran dan maksiat yang ada di tengah-tengah mereka.
Maka tanggung jawab seorang pemimpin itu berat. mereka punya kewajiban untuk mencegah kemungkaran, juga mengingkari kemungkaran dan menghilangkan kemungkaran yang muncul di tengah-tengah rakyat.
Merekalah orang-orang yang punya kuasa, mereka yang punya angkatan perang dan senjata, mereka yang bisa menundukkan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di tengah-tengah masyarakat.
Jadi mengubah dengan tangan ini bukan wewenang setiap orang, tapi dia adalah wewenang pemerintah muslim ketika muncul kemungkaran-kemungkaran di tengah masyarakat. Karena ini sebuah kewajiban, maka mereka berdosa jika tidak melakukannya.
Jangan sampai umat Islam melakukan “main hakim sendiri”. Sehingga untuk menghindari itu maka pemerintah yang harus mengubah kemungkaran-kemungkaran dengan kekuasaan mereka.
Kekuasaan terbatas
Orang-orang yang memiliki kekuasaan terbatas atau wilayah khusus seperti seorang guru kepada murid-muridnya, pemimpin perusahaan kepada karyawannya, seorang ayah kepada istri dan anak-anaknya. Mereka berhak dan punya wewenang untuk mengubah kemungkaran di kantor, atau di rumah, atau di sekolah mereka. Mereka boleh merubah kemungkaran dengan tangan.
Misalnya seorang bapak menghukum anaknya, atau barangkali memecah alat yang digunakan untuk maksiat. Tentu ini dilakukan dalam lingkup yang mereka punya wewenang di sana.