Syarah hadits

Keterangan hadits

– Hasad menurut Ibnu Taimiyah adalah,

الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ

Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111).

Sedangkan menurut jumhur ulama, hasad adalah berharap hilangnya nikmat Allah pada orang lain. Nikmat ini bisa berupa nikmat harta, kedudukan, ilmu, dan lainnya. Demikian penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 368.

– Laa tanaaja-syuu: janganlah melakukan najsy, yaitu sengaja membuat harga barang naik, padahal ia tidak bermaksud membelinya. Najsy ini ingin memberikan mudarat pada pembeli, atau memberi manfaat pada penjual, atau bisa kedua-duanya sekaligus.

– Laa tabaa-ghoduu: janganlah saling benci, yaitu jangan sampai membuat sebab-sebab benci itu muncul.

– Laa tadaa-baruu: janganlah saling membelakangi, ada yang memandang ke arah yang satu, dan yang lain memandang ke arah lainnya. Maksudnya, jangan saling membelakangi (memboikot atau mendiamkan) bisa dengan hati, bisa dengan badan.

Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ, فَيُعْرِضُ هَذَا, وَيُعْرِضُ هَذَا, وَخَيْرُهُمَا اَلَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ

Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seseorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Bukhari, no. 6077 dan Muslim, no. 2560)

– Laa yabi’ ba’dhukum ‘ala bay’i ba’din: janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Misalnya ada yang membeli suatu barang pada penjual pertama dengan harga seratus ribu rupiah. Lalu ada penjual kedua yang datang dan menawarkan lagi, “Saya bisa beri dengan barang yang sama hanya tujuh puluh ribu rupiah.” Ini namanya menjual di atas jualan saudaranya.

– Wa kuunu ‘ibadallahi ikhwaanaa: jadilah hamba Allah yang bersaudara. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Sudah dimaklumi bersama bahwa namanya saudara itu, ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

– Laa yazh-limuhu: janganlah berbuat zalim dalam hal harta, darah, kehormatan, dan lainnya.

– Laa yakh-dzuluhu: janganlah membiarkan tanpa ditolong (diterlantarkan). Misalnya, seseorang melihat ada yang dizalimi sedang berdebat dengan orang yang menzaliminya. Jika ada yang mendukung orang yang menzalimi tanpa membela orang yang dizalimi seperti itu, itu namanya diterlantarkan. Yang wajib dilakukan adalah menolong orang yang dizalimi tadi.

– Laa yak-dzibuhu: janganlah berbuat dusta, dengan ucapan ataupun perbuatan.

– Laa yahqiruhu: janganlah merendahkan muslim yang lain.

Baca Juga: Ya Allah, Satukanlah Hati Kami

Faedah hadits

  1. Islam mengajarkan untuk menjalin ukhuwah (persaudaraan).
  2. Islam melarang hasad (walaupun hanya dari satu pihak saja), najsy (menaikkan harga barang lalu memudaratkan penjual atau memberikan manfaat pada pembeli), saling benci, saling membelakangi (mendiamkan), menjual di atas jualan saudaranya, menzalimi, enggan menolong (menelantarkan), merendahkan, mengabarkan berita bohong, merampas harta, darah, hingga kehormatan orang lain.
  3. Hadits ini menganjurkan kaum muslimin untuk saling mencintai. Hadits menyebutkan larangan saling membenci, itulah mantuqnya (tekstualnya). Sebaliknya (secara mafhum), kita dianjurkan untuk saling mencintai.
  4. Larangan menjual di atas jualan saudaranya berlaku saat khiyar dan bakda khiyar. Khiyar adalah memilih untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli.
  5. Wajib mewujudkan persaudaraan seiman. Bentuk mewujudkan persaudaraan adalah dengan saling memberi hadiah, berkumpul dalam ibadah secara berjemaah seperti dalam shalat lima waktu, shalat Jumat, dan shalat id.
  6. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sesama muslim itu bersaudara, beliau menjelaskan pula bagaimana seharusnya seorang muslim pada saudaranya.
  7. Ajaran Islam datang untuk menjaga atau menyelamatkan darah, harta, dan kehormatan.
  8. Tidak boleh menjatuhkan kehormatan seorang muslim. Kita tidak boleh mengghibah yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan tentang ghibah dengan membicarakan aib suadara kita di saat ia gaib. Bila ia hadir, membicarakan kejelekannya disebut dengan mencela, bukan lagi ghibah.
  9. Tidak boleh menelantarkan sesama muslim, berarti kita diperintahkan untuk menolong mereka. Bahkan kita diperintahkan menolong orang yang dizalimi dan juga menolong orang yang berbuat zalim. Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْصُرْ أخاكَ ظالِمًا أوْ مَظْلُومًا فقالَ رَجُلٌ: يا رَسولَ اللَّهِ، أنْصُرُهُ إذا كانَ مَظْلُومًا، أفَرَأَيْتَ إذا كانَ ظالِمًا كيفَ أنْصُرُهُ؟ قالَ: تَحْجُزُهُ، أوْ تَمْنَعُهُ، مِنَ الظُّلْمِ فإنَّ ذلكَ نَصْرُهُ.

Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim atau yang dizalimi.” Ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku tolong menolongnya jika ia dizalimi. Terus pendapatmu jika ia adalah orang zalim, bagaimana aku bisa menolongnya?” Beliau bersabda, “Engkau mencegah atau menghalanginya dari tindakan zalim, berarti engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, no. 2444, 6952)

  1. Kita wajib bersikap jujur, tidak boleh berdusta. Berdusta itu haram walaupun pada orang kafir.
  2. Tidak boleh merendahkan muslim yang lain walau dia itu fakir dan miskin. Kita harus memuliakan dan menghormati muslim lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ أشْعَثَ مَدْفُوعٍ بالأبْوابِ، لو أقْسَمَ علَى اللهِ لأَبَرَّهُ.

Betapa banyak orang yang rambutnya semrawut dan dia diusir ketika berada di pintu rumah orang lain, tetapi jika ia bersumpah/ berdoa, Allah akan mengabulkan permintaannya.” (HR. Muslim, no. 2622, 2854)

  1. Takwa letaknya di hati.
  2. Memberi contoh dengan mempraktikkan lebih mengena dari sekadar perkataan saat bicara. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat pada dadanya, bukan hanya berkata-kata.
  3. Hadits ini adalah sanggahan untuk orang yang mengerjakan maksiat dengan anggota badannya, lalu ia katakan, yang penting ketakwaan kita di sini. Jawabnya, jika hati bertakwa, anggota badan juga turut bertakwa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ

Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari, no. 2051 dan Muslim, no. 1599)

  1. Bagusnya pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ucapan dan praktik.

 

Kaedah dari hadits

  1. Kaedah bersaudara:

الأُخُوَّةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى المُتَطَلِّبَاتِ لاَ عَلَى الِإدْعَاءَاتِ

“Persaudaraan itu dibangun di atas apa yang orang lain suka, bukan atas tuntutan hak.”

  1. Kaedah fikih:

الأَصْلُ فِي دَمِّ المُسْلِمِ وَعِرْضِهِ وَمَالِهِ الحُرْمَةُ

“Hukum asal darah muslim, hartanya, dan kehormatannya adalah terjaga (dilarang dirampas).”

  1. Kaedah hati:

اِتِّقَاءُ القَلْبِ يَثْمُرُ اِتِّقَاءَ الجَوَارِحِ

“Hati yang terjaga baik berbuah pada anggota badan yang terjaga.”

 

Sifat Manusia Saat Hasad 

Hasad itu sifatnya manusiawi. Setiap orang pasti punya rasa tidak suka jika ada orang yang setipe dengannya melebihi dirinya dari sisi keutamaan.

Manusia dalam hal ini ada empat sifat hasad.

Pertama: Ada yang berusaha menghilangkan nikmat pada orang yang ia hasad. Ia berbuat melampaui batas dengan perkataan ataupun perbuatan. Inilah hasad yang tercela.

Kedua: Ada yang hasad pada orang lain. Namun, ia tidak jalankan konsekuensi dari hasad tersebut di mana ia tidak bersikap melampaui batas dengan ucapan dan perbuatannya. Al-Hasan Al-Bashri berpandangan bahwa hal ini tidaklah berdosa.

Ketiga: Ada yang hasad dan tidak menginginkan nikmat orang lain hilang. Bahkan ia berusaha agar memperoleh kemuliaan semisal. Ia berharap bisa sama dengan yang punya nikmat tersebut. Jika kemuliaan yang dimaksud hanyalah urusan dunia, tidak ada kebaikan di dalamnya. Contohnya adalah keadaan seseorang yang ingin seperti Qarun.

يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ

Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun.” (QS. Al-Qasas: 79)

Jika kemuliaan yang dimaksud adalah urusan agama, inilah yang baik.  Inilah yang disebut ghib-thah.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا حَسَدَ إلَّا على اثنتَينِ: رجُلٌ آتاهُ اللهُ مالًا، فهو يُنْفِقُ مِنهُ آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ، ورجُلٌ آتاهُ اللهُ القُرآنَ، فهو يَقومُ به آناءَ اللَّيلِ وآناءَ النَّهارِ.

Tidak boleh ada hasad kecuali pada dua perkara: ada seseorang yang dianugerahi harta lalu ia gunakan untuk berinfak pada malam dan siang, juga ada orang yang dianugerahi Alquran, lantas ia berdiri dengan membacanya malam dan siang.” (HR. Bukhari, no. 5025, 7529 dan Muslim, no. 815)

Keempat: Jika dapati diri hasad, ia berusaha untuk menghapusnya. Bahkan ia ingin berbuat baik pada orang yang ia hasad. Ia mendoakan kebaikan untuknya. Ia pun menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Ia ganti sifat hasad itu dengan rasa cinta. Ia katakan bahwa saudaranya itu lebih baik dan lebih mulia. Bentuk keempat inilah tingkatan paling tinggi dalam iman. Yang memilikinya itulah yang memiliki iman yang sempurna di mana ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:260-263.

Semoga bermanfaat.



Sumber https://rumaysho.com/23991-hadits-arbain-35-kita-itu-bersaudara.html



Jangan saling hasad

Ini senada dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

“Jauhilah oleh kalian jasad (iri dan dengki), karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud)

Api kalau dihadapkan pada kayu bakar, maka itu adalah makanan yang empuk bagi apik. Kayu bakar akan habis oleh api. Maka demikian juga dengan amal shalih jika dihadapkan pada hasad.

Beliau juga mengatakan:

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ ، حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ

“Telah menyebar di antara kalian penyakit umat-umat sebelum kalian; hasad dan saling benci (di antara umat Islam). Permusuhan adalah sesuatu yang mencukur habis agama seseorang, bukan rambutnya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Hasad adalah sesuatu yang ada di hati setiap manusia. Karena setiap orang tidak ingin ada orang lain yang mengalahkannya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Namun orang yang mulia akan menyembunyikan perasaan itu, dia akan menyimpan dan menahan sehingga tidak membuatnya melakukan hal-hal yang dilarang. Dia justru malah mendoakan orang lain dengan kebaikan, dia berbuat baik kepada orang tersebut dalam rangka menghilangkan hasad yang ada pada dirinya.

Sementara sebagian orang yang lain tidak bisa menutupinya. Hasad dan iri yang ada dalam hatinya itu dia tampakkan dalam perkataan-perkataan dan sikap-sikapnya. Sehingga dia mengharapkan nikmat yang ada pada orang lain itu hilang, baik berpindah kepada dirinya ataupun yang penting tidak lagi dimiliki oleh orang tersebut. Ini adalah hasad yang dilarang.

Hasad terpuji (Ghibtah)

Kalau kita punya rasa iri kepada orang lain, tapi kita tidak mengharapkan hilangnya nikmat tersebut dari dirinya, jika ini terjadi pada urusan-urusan duniawi, Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan bahwa ini tidak ada manfaat/kebaikan di dalamnya.

Adapun kalau dalam urusan akhirat, maka ini bagus. Ketika ada seorang saudara kita yang diberikan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa takwa yang tinggi, iman yang tebal, ibadah yang rajin, ilmu yang banyak dan bermanfaat, kemudian kita berharap bisa mendapatkan seperti itu juga, kita ikhtiar untuk bisa memilikinya tanpa berharap nikmat itu hilang dari saudara kita ini, maka ini adalah hasad yang terpuji. Inilah yang disebut dengan ghibtah (arab: غبطة).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ ، وَرَجُلٍ آتَاهُ الله مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ.

“Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara; seseorang yang Allah beri hafalan Al-Qur’an kemudian dia shalat dengan hafalannya dimalam hari dan disiang hari, dan seseorang yang Allah berikan harta kemudian ia membelanjakannya di jalan Allah sepanjang malam dan siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi bukan hartanya yang membuat kita hasad, tapi kita bercita-cita banyak sedekah tanpa berharap nikmat tersebut hilang dari saudara kita.

Inilah dua perkara yang kita boleh hasad. Dimana keduanya merupakan urusan akhirat. Bahkan kita dianjurkan bagi kita untuk iri hati dengan orang yang diberikan dua nikmat ini, kemudian kita berusaha untuk mendapatkan keutamaan itu juga tanpa berharap nikmat tersebut dicabut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala darinya.

Janganlah saling memancing

Menit ke-16:55 Secara bahasa, najasy artinya memancing binatang buruan supaya keluar dari lubang atau dari tempat persembunyiannya. Secara istilah najasy ini diartikan sebagai memancing naiknya harga (dalam suatu proses lelang). Yaitu jual beli dengan cara harga yang dibiarkan terus bertambah. Ini dibolehkan dan terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ketika terjadi lelang, ada kebiasaan di sebagian tempat dimana orang yang melelang barang ini memiliki tim khusus. Tim ini adalah orang-orang yang pura-pura untuk ikut menawar harga padahal mereka tidak punya keinginan untuk membeli sama sekali. Mereka datang ke tempat lelang kemudian pura-pura menjadi pembeli di situ agar harga terus naik. Ketika ada seorang pembeli yang nyata menawar dengan suatu harga, maka dia akan mengangkat tangan kemudian menaikkan harga. Sehingga kemudian para pembeli yang nyata akhirnya juga berlomba-lomba untuk menaikkan harganya.

Dia tidak punya maslahat untuk membeli barang, tapi dia ingin memberikan keuntungan kepada si penjual tapi caranya dengan mengorbankan orang lain. Para pembeli yang ingin membeli barang tersebut akhirnya tidak mendapatkan harga yang sesuai dengan mekanisme pasar. Ini dilarang dalam agama kita.

Sebagian ulama menafsirkan najasy dengan arti yang lebih umum. Yaitu semua bentuk penipuan (dalam jual beli atau yang lain) berupa memancing harga yang membumbung atau bentuk penipuan-penipuan yang lain. Ini juga masuk dalam larangan.

Janganlah saling membenci

Menit ke-20:24 Permusuhan adalah sesuatu yang sangat umum terjadi pada zaman Jahiliyah. Kemudian ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membawa Islam kepada umat beliau, maka jadilah umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hamba-hamba yang saling bersaudara dan tidak bermusuhan. Nikmat ini disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika dahulu kalian bermusuhan kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatukannya hati kalian sehingga menjadi saudara-saudara dengan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Ali-Imran[3]: 103)

Maka nikmat ini hendaknya kita jaga, persaudaraan muslim jangan kita hancurkan dengan saling membenci dan saling bermusuhan. Karenanya kita disyariatkan untuk menghindari segala bentuk perbuatan yang bisa menimbulkan permusuhan di antara muslim.

Ini menunjukkan bahwasanya persatuan dan kerukunan umat Islam merupakan salah satu tujuan diturunkannya syariat Islam kepada umat manusia.

Membenci karena Allah

Adapun yang dikecualikan dari saling membenci adalah membenci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya membenci seseorang karena syirik yang dia lakukan, membenci seseorang karena bid’ah yang dia kerjakan, membenci seseorang karena dia memiliki banyak maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ini disebut sebagai benci karena Allah. Dan ini diperintahkan bahkan termasuk salah satu cabang iman yang agung. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَوْثَقُ عُرَى الإِيْمَانِ اَلْحُبُّ فِيْ اللهِ وَ الْبُغْضُ فِيْ اللهِ

“Tali iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Thabrani)

Jadi pada umumnya kita dilarang untuk saling membenci dan bermusuhan di antara umat Islam, tapi kebencian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebuah amal shalih yang merupakan salah satu tali dan cabang iman yang sangat kuat.

Janganlah saling berpaling/memutus

Menit ke-24:35 Ini senada dengan yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

لا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ

“Tidah halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr (mendiamkan) saudaranya selama tiga malam/hari, keduanya berjumpa kemudian saling berpaling di antara keduanya. Dan sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai memberi salam dahulu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka ketika terjadi sebuah permasalahan duniawi antara kita dengan seseorang, misalnya karena ada kata-kata yang tidak kita sukai dari saudara kita, atau perselisihan dalam kepemilikan tanah, atau dalam perdagangan dan semacamnya, ini adalah urusan duniawi. Kalau kita meng-hajr saudara kita karena urusan duniawi, maka tidak boleh lebih dari tiga hari.

Kalau ingin memberikan pelajaran, ingin menjelaskan kepadanya bahwa apa yang dilakukan kepada kita adalah sesuatu yang tidak kita sukai, maka disyariatkan untuk meng-hajr dia tapi jangan lama-lama, maksimal tiga hari saja. Setelah itu harus segera beres dan ketika bertemu kita ucapkan salam lagi.

Adapun kalau hajr-nya karena urusan akhirat, misalnya karena maksiat-maksiat yang dia miliki, maka ini dikembalikan kepada maslahat (tidak terbatas pada tiga hari). Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meng-hajr Ka’ab bin Malik dan orang-orang yang tidak ikut berangkat dalam Perang Tabuk selama 50 hari, sampai turun ayat pengampunan untuk mereka. Baru kemudian setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan hajr beliau kepada mereka.

Jangan berjualan di atas penjualan orang lain

Menit ke-30:52 Ketika telah terjadi transaksi jual-beli, tapi antara penjual dan pembeli masih terikat khiyar. Misalnya terikat khiyar majelis, yaitu dimana keduanya masih berada di tempat transaksi yang sama dan belum berpisah, maka kita masuk ke transaksi tersebut kemudian mengatakan kepada si penjual: “Jangan engkau menjual barang ini kepada dia, biarkan saya yang membelinya dengan harga lebih mahal.” Hal ini berarti membeli diatas pembelian orang lain. Seseorang sudah menjual kepada orang lain, kemudian kita menawarkan harga yang lebih mahal kepada orang tersebut sehingga dia akan membatalkan jual belinya kepada orang lain.

Atau sebaliknya, kita datang kepada si pembeli ketika keduanya masih terikat khiyar (masih bisa membatalkan jual-beli), kemudian kita mengatakan: “Jangan kau beli barang ini, saya punya barang yang lebih baik, saya akan menjualnya kepadamu dengan harga yang sama/barang yang sama dengan harga yang lebih murah.” Ini adalah menjual diatas penjulan orang lain atau membeli diatas pembelian orang lain.

Kita bisa bayangkan kalau berada dalam posisi itu. Kita sudah menjual, sudah deal, sudah transaksi, tapi ternyata kemudian masuk yang katanya sama-sama muslim, sama-sama satu agama, tapi memperlakukan kita seperti itu. Tentunya kita akan sakit hati dengan hal seperti itu. Ini termasuk perkara yang bisa menimbulkan permusuhan di antara sesama muslim. Maka ini juga dilarang dalam agama kita.