Hamma: berniat (bertekad)
Ingatlah, pembicaraan hati tidaklah dicatat dan tidaklah dikenakan hukuman. Sehingga pembicaraan hati tidaklah termasuk hamma. Yang dimaksud dengan hamma adalah bertekad untuk mengerjakan, tetapi datang ketidakmampuan, lantas ia tidak melakukan, seperti ini dicatat kebaikan yang sempurna.
Bagaimana bisa dapat balasan padahal tidak beramal?
Ia diberi balasan karena azam disertai niat yang jujur, maka ia dicatat mendapatkan kebaikan yang sempurna.
Orang yang punya hamm dalam kebaikan lantas tidak dilakukan ada beberapa bentuk:
- Melakukan sebab, tetapi tidak mendapatinya. Orang seperti ini mendapatkan kebaikan yang sempurna.
- Sudah punya hamm dan azam, tetapi ditinggalkan karena ada kebaikan yang lebih afdal. Orang seperti ini akan mendapatkan pahala kebaikan yang lebih tinggi (lebih sempurna). Sedangkan, untuk amalan yang ditinggalkan (yang lebih rendah) dicatat mendapatkan pahala dari hamm (tekadnya).
- Jika meninggalkan amalan karena kemalasan. Misalnya, sudah berniat mau mengerjakan shalat sunnah Dhuha. Lantas ada teman yang mengajak untuk jalan. Ia diberi ganjaran sebatas niatannya saja, tetapi tidak diberi balasan untuk perbuatan karena tidak dilakukan tanpa ada uzur.
Orang yang punya hamm dalam kejelekan itu ada dua bentuk:
- Berkeinginan melakukan kejelekan, ia sudah bertekad dalam hati (bukan sekadar pembicaraan hati), kemudian ia menariknya, ia meninggalkan kejelekan tersebut karena Allah. Inilah orang yang mendapatkan ganjaran. Ia dicatat mendapatkan kebaikan sempurna. Sebabnya, ia meninggalkan kejelekan tersebut karena Allah dan tidak sempat melakukannya yang bisa membuatnya tercatat melakukan kejelekan.
- Berkeinginan melakukan kejelekan, sudah bertekad (berazam), tetapi tidak mampu melakukannya, dan tidak berusaha melakukan berbagai sebab. Hal ini seperti seseorang yang berkeinginan untuk kaya lantas ingin bermaksiat dengan hartanya, tetapi sayangnya ia tidak dianugerahi harta. Ia dicatat mendapatkan dosa dari sisi niat.
Dari Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ، عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ المَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Dunia itu milik empat golongan, yaitu:
(1) Seseorang yang Allah beri ilmu dan harta lalu dia bertakwa kepada Allah, menyambung silaturahim (hubungan dengan kerabat), dan mengetahui hak Allah pada harta tersebut. Orang ini yang paling utama kedudukannya di sisi Allah.
(2) Seseorang yang Allah beri ilmu tetapi tidak diberi harta, lalu dia berkata, ‘Andai aku punya harta, aku akan melakukan seperti amalan si polan.’ Karena niat baiknya itu, dia dan orang pertama sama dalam pahala.
(3) Seseorang yang Allah beri harta tetapi tidak diberi ilmu, lalu dia menghabiskan harta tersebut tanpa bertakwa kepada Allah, tidak menyambung silaturahim, dan tidak tahu hak Allah pada harta itu. Orang ini kedudukannya paling buruk di sisi Allah.
(4) Seseorang yang tidak diberi Allah harta dan ilmu, lalu berkata, ‘Andai aku punya harta, aku akan melakukan seperti amalan si polan.’ Karena niat buruknya itu, keduanya sama dalam dosa.’” (HR. Tirmidzi, no. 2325 dan Ahmad, 4:231. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
- Berkeinginan melakukan kejelekan, berusaha untuk menggapainya, tetapi tidak mampu. Orang seperti ini mendapatkan dosa yang sempurna.
Abu Bakrah Nufa’i bin Harits Ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ » . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ « إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
“Apabila dua orang Islam bertengkar dengan pedangnya, maka orang yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama berada di dalam neraka.” Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, sudah wajar yang membunuh masuk neraka, lantas bagaimana gerangan yang terbunuh?” Beliau menjawab, “Karena ia juga sangat berambisi untuk membunuh sahabatnya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 31 dan Muslim, no. 2888).
- Bertekad melakukan suatu kejelekan, kemudian menjauhkan diri darinya, bukan karena Allah, bukan karena tidak mampu, maka seperti itu tidak diberi pahala karena ia tidak meninggalkan maksiat karena Allah dan ia tidak dihukum karena tidak melakukan hal-hal yang mewajibkan mendapatkan hukuman.
Berarti hadits,
وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً
“Jika dia berniat melakukan keburukan lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna”, maksudnya jika meninggalkan kejelekan karena Allah.
Faedah hadits:
- Kebaikan itu ada empat tingkatan:
– berniat melakukan kebaikan dan mengamalkannya, akan mendapatkan satu kebaikan sempurna hingga sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat.
– berniat melakukan kebaikan dan tidak mengamalkannya karena tidak mampu (‘ajez), maka dapat pahala satu kebaikan yang sempurna.
– ada yang sudah punya kebiasaan pada kebaikan lalu ia meninggalkannya karena ada uzur (karena sakit atau safar), ia tetap dicatat pahala yang sempurna.
– jika ia berniat (bertekad), tetapi tidak mengamalkannya dan diakhirkan (diundur), bukan karena ‘ajez (tidak mampu) dan bukan karena uzur, Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna untuk niatnya saja.
- Kejelekan itu ada empat tingkatan:
– berniat melakukan kejelekan dan mengamalkannya, maka dicatat satu kejelekan.
– berniat melakukan kejelekan dan akhirnya meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka dicatat baginya satu kebaikan yang sempurna.
– berniat melakukan kejelekan dan meninggalkannya karena tidak mampu (‘ajez), maka dicatat baginya satu kejelekan.
– berniat melakukan kejelekan dan meninggalkannya bukan karena takut kepada Allah, bukan karena ‘ajez (tidak mampu), maka tidak dicatat baginya apa pun.
- Rahmat Allah bagi hamba-Nya berlipat-lipat untuk kebaikan.
- Baiknya pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyebut sesuatu secara mujmal (global), lalu dirinci, innallaha katabal hasanaati was sayyiaati.
- Berlipat-lipatnya pahala kebaikan. Asalnya, kebaikan dibalas dengan minimal sepuluh kebaikan yang semisal. Pahala tadi bisa berlipat hingga 700 kali lipat, hingga berlipat-lipat lebih dari itu. Pahala itu bisa berlipat-lipat karena beberapa sebab:
– waktu
– tempat
– jenis amal, amalan wajib ataukah sunnah
– pelaku amal
- Kejelekan yang dimaksudkan dalam hadits di antaranya adalah dosa besar dan dosa kecil. Sebagaimana kebaikan yang dimaksudkan dalam hadits adalah amalan wajib dan sunnah.
- Kejelekan dibalas satu kejelekan. Ishaq bin Manshur mengatakan bahwa ia berkata kepada Imam Ahmad, “Manakah hadits yang menyebutkan kejelekan dicatat dengan dibalas lebih dari satu?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak ada. Yang pernah kami dengar hanyalah di Makkah, karena keagungan negeri Makkah.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:318)
Sumber https://rumaysho.com/24305-hadits-arbain-37-berniat-baik-dan-jelek-namun-tidak-terlaksana.html
Ini adalah sebuah kabar dan informasi dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah menyampaikan kepada kita bahwasanya Dia mencatat amalan-amalan kebaikan kita, pun juga amalan-amalan keburukan kita. Maka kita harus hati-hati dengan amalan kita. Kita harus meyakini bahwasanya seluruh amal baik pasti dicatat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan amalan-amalan buruk kita juga dicatat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menegaskan bahwasanya akan ada pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Masing-masing dari kita akan ditanya tentang amalannya. Apa yang sudah kita lakukan di dunia? Kita semuanya akan mempertanggungjawabkan itu dengan pertanggungjawaban yang sangat detail di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita semuanya harus menyiapkan diri untuk itu. Andai kematian menutup kehidupan kita sama sekali, maka kita bisa santai-santai. Tapi kematian hanyalah menutup kehidupan dunia kita saja. Dibalik kematian itu masih ada kehidupan yang lebih besar, kehidupan yang lebih penting, yang merupakan kehidupan sejati. Kebahagiaan kita di sana tergantung pada amalan kita saat masih di dunia.
Maka selagi kita masih punya nafas, selagi kita masih punya nyawa, hendaknya kita ingat bahwasanya dunia ini hanya sementara. Kita harus mengupayakan kebahagiaan kita di akhirat yang merupakan negeri yang abadi dan kehidupan yang sejati. Jangan sampai kita terlena. Ingat bahwasanya semua amalan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan secara lebih detail tentang bagaimana Dia mencatat amalan-amalan kebaikan maupun keburukan.
Berniat melakukan kebaikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka barangsiapa yang berniat/bertekad untuk melakukan suatu amalan kebaikan, Allah sudah mencatatkan untuknya karena niat beramal baik itu satu kebaikan yang sempurna.”
Niat di sini berarti sudah ada tekad, tidak hanya sekedar terbetik atau terpikir, tapi sudah lebih maju dari itu dimana kita sudah punya keinginan yang kuat dan tekad yang bulat untuk melakukan suatu amal.
Misalnya seseorang ingin shalat, ingin puasa, ingin zakat atau yang semacamnya. Meskipun kita akhirnya tidak jadi menjalankannya karena tidak mampu, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah mencatat niat baik itu sebagai sebuah kebaikan yang sempurna.
Ini adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk amal shalih dan kebaikan sekedar bertekad untuk mengamalkannya saja sudah membuat kita dicatat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melakukan sebuah kebaikan yang sempurna.
Ini juga dijelaskan dengan hadits yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَعَلِمَ اللَّهُ أَنَّهُ قَدْ أَشْعَرَهَا قَلْبَهُ وَحَرَصَ عَلَيْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dari orang tersebut bahwasanya hatinya benar-benar bersemangat untuk mengamalkannya, maka itu sudah dicatat sebagai sebuah amal shalih di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad)
Benar-benar mengamalkan kebaikan
Menit ke-15:12 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Adapun kalau dia bertekad melakukan suatu amal shalih kemudian benar-benar mengamalkannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencatat untuknya 10 kebaikan, atau menjadi 700, atau menjadi lebih banyak lagi.”
Ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا…
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal kebaikan, maka dia mendapat pelipatgandaan menjadi 10 kali pahalanya…” (QS. Al-An’am[6]: 160)
Atau menjadi 700 kali lipat, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ…
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti satu biji yang menumbuhkan tujuh bulir dan pada setiap bulirnya terdapat 100 biji…” (QS. Al-Baqarah[2]: 261)
Atau bisa lebih dari itu jika Allah menghendaki. Seperti pahala yang diberikan kepada orang-orang sabar yang akan mendapatkan pahala mereka tanpa perhitungan. Juga orang-orang yang berpuasa yang akan diberikan pahalanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala langsung tanpa dibatasi oleh angka-angka ini.
Ini adalah orang yang terbaik, yaitu yang berniat untuk beramal shalih kemudian benar-benar merealisasikan tekad dan niatnya diatas muka bumi.
Mengurungkan niat buruk
Menit ke-18:20 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang berniat berbuat buruk kemudian dia tidak jadi mengamalkannya, maka Allah mencatatnya sebagai sebuah kebaikan yang sempurna.”
Adapun tentang amal yang buruk, kalau kita baru sekedar niat saja kemudian tidak jadi mengamalkannya, dan kita meninggalkannya karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah mencatat niat buruk itu sebagai sebuah kebaikan yang sempurna. Hal ini karena niat buruk itu kita tinggalkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan maksiat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebuah bentuk takwa.
Adapun kalau tidak jadi meninggalkan amal yang buruk ini adalah karena tidak mampu, orangnya sudah berusaha untuk bermaksiat tapi takdirnya dia tidak bisa menjalankan maksiat itu, maka yang seperti ini dia sudah mendapatkan dosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam sebuah hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dari umatku bisikan-bisikan hatinya selagi dia belum berbicara atau beramal.” (HR. Bukhari)
Jadi kalau ada bisikan-bisikan untuk berbuat buruk, maka itu belum dicatat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala selagi belum berbicara atau beramal.
Dalam konteks orang yang berniat buruk kemudian dia sudah berjalan, sudah berusaha mengejar maksiat itu, tapi kemudian tidak bisa menjalankannya karena takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka berarti dia sudah beramal, dia sudah melangkah, tidak hanya sebatas niat dalam hati, dia tidak meninggalkannya karena Allah, tapi dia meninggalkan perbuatan buruk itu karena tidak bisa menjalankannya. Maka yang seperti ini masih tetap dicatat berbuat buruk di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal ini semakin jelas dengan penjelasan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ
“Jika dua orang muslim berjumpa dengan pedang mereka, maka orang yang membunuh dan juga yang terbunuh masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kenapa orang yang terbunuh juga masuk nereka? Ini mengherankan bagi para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan:
إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
“Orang yang terbunuh ini sebenarnya juga punya tekad untuk membunuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dia sudah bertekad membunuh, bahkan sudah mengayunkan pedangnya juga. Tapi karena takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dia kalah siasat dan kalah kuat dibanding lawannya, maka akhirnya dia yang terbunuh.
Melakukan keburukan
Menit ke- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika dia bertekad untuk melakukan sebuah keburukan kemudian dia benar-benar mengamalkannya, maka Allah mencatat di sisiNya satu keburukan saja.”
Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا
“…Dan barangsiapa yang melakukan suatu keburukan, maka dia tidak diganjar kecuali dengan yang sepertinya…” (QS. Al-An’am[6]: 160)
Jadi hanya dicatat melakukan satu keburukan saja. Namun keburukan ini bisa jadi menjadi satu titik yang tebal, kalau kita menjalankannya diwaktu yang terhormat atau di tempat yang suci.
Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, untuk kondisi yang keempat ini dijelaskan:
أو محاها الله
“Atau Allah menghapuskannya.” (HR. Muslim)
Jadi Allah mencatatnya satu keburukan saja atau Allah menghapuskannya. Allah menghapuskannya dengan berbagai sebab yang bisa menggugurkan dosa, baik berupa istighfar, taubat atau amal-amal shalih yang kita lakukan.
Kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Pada hadits ini dijelaskan bahwa barangsiapa yang berniat berbuat baik, maka dia sudah dicatat melakukan kebaikan yang sempurna. Kalau kemudian dia menjalankannya, maka dilipatgandakan menjadi 10, 700 atau tanpa batas. Sedangkan orang yang berniat untuk berbuat buruk kemudian dia tinggalkan perbuatan buruk itu karena Allah, maka dia justru dicatat sudah melakukan sebuah kebaikan yang sempurna. Dan kalau akhirnya melakukan keburukan ini, maka dia hanya dicatat melakukan satu keburukan saja. Ini adalah anugerah dan kemurahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka logikanya, harusnya semua orang bisa meraih surga dengan tingkatnya yang tinggi. Hal ini karena Allah Maha Murah. Maka kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
وَلَا يَهْلِكُ عَلَى اللهِ إِلَّا هَالِكٌ
“Maka tidak ada yang binasa di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali memang orang-orang yang benar-benar buruk.” (HR. Muslim)
Kalau akhirnya timbangan keburukan lebih berat daripada timbangan amal kebaikannya, berarti keburukannya sungguh banyak. Karena aturan Allah sangat memudahkan kita.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu pernah mengatakan:
ويل لمن غلبت آحاده عشراته
“Sungguh celaka orang yang satunya mengalahkan sepuluhnya.”
Maksud beliau adalah bahwasanya orang yang keburukan-keburukannya mengalahkan kebaikan-kebaikannya, berarti dosanya sangat banyak.
hadits 37
Berniat Baik dan Jelek, Namun Tidak Terlaksana