Keterangan hadits
Gharib: orang asing dari negerinya, ada waktu berdiam, namun hanya sebentar.
‘Abiru sabiil: musafir, sama sekali tidak menetap, terus berjalan.
Penjelasan hadits
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini jadi dasar agar kita tidak panjang angan-angan. Dunia ini hendaknya tidak dijadikan negeri dan tempat tinggal, sehingga kita jadi merasa tenang ketika berada di dalamnya. Hendaklah dunia hanya dijadikan tempat persiapan peralatan untuk perjalanan. Wasiat para nabi dan pengikutnya telah sama dalam hal ini. Allah Ta’ala telah menceritakan tentang orang beriman dari keluarga Fir’aun,
يَٰقَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا مَتَٰعٌ وَإِنَّ ٱلْءَاخِرَةَ هِىَ دَارُ ٱلْقَرَارِ
“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 39).” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:377)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Dunia bagi seorang mukmin bukanlah negeri untuk menetap, bukan sebagai tempat tinggal. Hendaklah seorang mukmin berada dalam salah satu keadaan: (1) menjadi seorang gharib (orang asing), tinggal di negeri asing, ia semangat mempersiapkan bekal untuk kembali ke negeri tempat tinggal sebenarnya; (2) menjadi seorang musafir, tidak tinggal sama sekali, bahkan malam dan siangnya ia terus berjalan ke negeri tempat tinggalnya. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma agar hidup di dunia dengan salah satu dari dua keadaan ini.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:378)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Jika seseorang semangat dalam mempersiapkan bekal safarnya, tentu semangatnya bukan memperbanyak kesenangan dunia.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:381)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara:
(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
(5) Hidupmu sebelum datang matimu.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya, 4:341. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari Muslim namun keduanya tidak mengeluarkannya. Dikatakan oleh Adz-Dzahabiy dalam At-Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Wajib bagi setiap mukmin bersegera beramal saleh sebelum tidak mampu dan terhalang melakukannya, bisa jadi terhalang karena sakit, meninggal dunia, atau mendapati hal-hal yang membuat amal kita sudah tidak lagi diterima.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:390)
Faedah hadits
- Kita dimotivasi untuk meninggalkan dunia dan zuhud pada dunia.
- Bagusnya pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memberi contoh yang memuaskan.
- Hendaklah kita bersegera memanfaatkan umur, memanfaatkan waktu kuat yaitu masa sehat dan masa hidup.
- Keutamaan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma karena perkataannya terpengaruh dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bersegera beramal saleh pada waktu kita saat ini, tidak menunda-nundanya, karena kita tidak tahu keadaan setelah itu.
- Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hendaklah setiap mukmin benar-benar memanfaatkan kesempatan dengan sisa umur yang ada.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:391)
Kaedah dari hadits
Kaedah istitsmar: hendaklah kita sibuk dengan sesuatu yang akan kekal, bukan sesuatu yang akan fana. Artinya, banyaklah sibuk dengan akhirat, sedangkan dunia kita diajak untuk zuhud (ambil sekadarnya saja dari yang halal).
Sumber https://rumaysho.com/25050-hadits-arbain-40-hidup-di-dunia-hanya-sebentar.html
Syarah hadits 40
Hadits Abdullah bin ‘Umar ini adalah hadits pokok yang menjelaskan kepada kita tentang prioritas yang benar. Apakah dunia atau akhirat yang akan kita dahulukan? Juga bagaimana kita bersikap dalam urusan dunia kita.
Semua Nabi dan para pengikutnya mengajarkan kepada kita bahwasannya akhirat harus diprioritaskan dan di dunia ini hendaknya kita mengambil secukupnya saja. Ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an saat bercerita tentang orang yang beriman dari kalangan keluarga Firaun. Dia mengatakan:
يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
“Wahai kaumku, sesungguhnya dunia ini adalah kenikmatan dan sungguh akhirat adalah tempat yang abadi.” (QS. Ghafir[40]: 39)
Kehidupan dunia adalah kehidupan dimana orang-orang merasakan kenikmatan di dalamnya, tapi hanya dalam waktu yang pendek kemudian dia segera hilang dan fana. Dan sungguh kehidupan akhirat adalah tempat yang abadi atau tempat untuk tinggal.
Maka kita sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala hendaknya berpikir demikian. Akhirat adalah kehidupan yang abadi, sementara dunia ini hanya sementara, kita hanya mampir disini.
Jangan salah prioritas, jangan kita terlalu asik dengan dunia yang fana dan segera habis. Kita tinggal di sini beberapa tahun saja untuk kemudian setelah itu kita berpindah ke alam yang lebih abadi. Sementara kebahagiaan kita di sana tergantung pada apa yang sudah kita amalkan saat di dunia.
Maka jangan sampai kita terlena dengan kehidupan dunia yang pendek dengan terus mengejar kenikmatannya. Dimana mengejar kenikmatan dunia itu pasti akan membuat kita jatuh dalam perkara-perkara yang haram.
Ingat bahwasanya dunia ini pendek dan kita hanya sementara di sini. Keberadaan kita di dunia adalah untuk menyiapkan bekal akhirat. Karena kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan di akhirat. Maka di sini kita harus banyak beramal, harus banyak menambah bekal. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
“Maka berkahilah dirimu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 197)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits At-Tirmidzi dengan sanad yang shahih mengatakan:
إنَّما مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ قال في ظِلِّ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Sesungguhnya perumpamaan saya dengan perumpamaan dunia itu seperti orang yang berteduh dibawah pohon, kemudian dia istirahat siang di sana untuk kemudian pergi dan meninggalkan pohon itu.” (HR. Tirmidzi)
Ketika kita berteduh di sebuah pohon hanya sekedar untuk melepas lelah, minum sebentar, berlindung dari panas matahari di siang itu. Tapi itu bukan rumah dan tujuan kita. Kita tidak terlalu nyaman di situ dan segera meninggalkan tempat itu untuk pergi ke tempat yang lain. Begitulah kita di dunia yang hanya untuk sementara. Adapun tujuan kita adalah akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
“Dan akhirat itu lebih baik dan lebih abadi.” (QS. Al-A’la[87]: 17)
Ini semuanya menegaskan kepada kita bahwasanya prioritas seorang hamba Allah adalah akhirat. Dunia itu hanya sementara, kita hanya mampir di situ, maka kita tidak boleh terlena. Kita tidak boleh merasa bahwasanya akan selamanya di sini sehingga lupa dengan tujuan utama.
Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullahu Ta’ala menukil dari sebagian ahli hikmah yang mengatakan:
عجبت ممن الدنيا مولية عنه، والآخرة مقبلة إليه يشتغل بالمدبرة ️ويعرض عن المقبلة
“Sungguh saya heran dengan orang yang dunia itu berpaling darinya, sementara akhirat akan segera mendatanginya. Tapi dia sibuk dengan yang berpaling dan lalai dari yang akan datang.”