Keterangan hadits
– Wa laa ubaali: aku tidak pandang banyaknya dosamu.
Penjelasan hadits
Kesimpulan dari hadits Anas bin Malik, maghfirah atau ampunan dosa datang karena tiga sebab:
- Doa dan berharap
- Istighfar
- Tauhid
1. Doa dan berharap
Doa yang diijabahi kalau terpenuhi syarat dan tidak yang mencegah doa untuk terkabul. Di antara syarat terkabulnya:
- hadirnya hati,
- sangat berharap diijabahi oleh Allah,
- doa tersebut harus diminta dengan tegas, tidak boleh seseorang mengatakan dalam doanya, “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau mau.”
- tidak boleh tergesa-gesa dan akhirnya putus asa dalam berdoa karena tak kunjung terkabul.
Karena kasih sayang Allah, doa itu bisa terwujud dalam lima bentuk:
- terkabul seperti yang diminta,
- diganti dengan yang lebih baik,
- terhindarkan dari kejelekan,
- menjadi simpanan di akhirat,
- dengan diberi ampunan oleh Allah atas dosa.
(Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:404)
Apa yang disebutkan dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam sebagaimana maksud dari hadits berikut.
وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ : (( مَا عَلَى الأرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو الله تَعَالَى بِدَعْوَةٍ إِلاَّ آتَاهُ اللهُ إيَّاها ، أَوْ صَرفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ، مَا لَمْ يَدْعُ بإثْمٍ ، أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ )) ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ القَومِ : إِذاً نُكْثِرُ قَالَ : (( اللهُ أكْثَرُ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, melainkan pasti Allah memberikannya kepadanya, atau Allah menghindarkannya dari kejelekan yang sebanding dengan doanya, selama ia tidak mendoakan dosa atau memutuskan silaturahim.” Lalu seseorang berkata, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak doa.” Beliau bersabda, “Allah lebih banyak memberi (dari apa yang kalian minta).” (HR. Tirmidzi, no. 3573 dan Al-Hakim, 1:493. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, hadits no. 1501),
وَرَوَاهُ الحَاكِمُ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي سَعِيْدٍ وَزَادَ فِيهِ : (( أَوْ يَدْخِرَ لَهُ مَِن الأَجْرِ مِثْلَهَا )) .
Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dari Abu Sa’id, dan ia menambahkan, “Atau Allah menyimpan untuknya berupa pahala yang sebanding dengan doa tersebut.” (HR. Ahmad, 3:18; Al-Hakim, 1:493. Hadits ini disahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly katakan bahwa sanad hadits ini hasan, perawinya tsiqqah selain ‘Ali bin ‘Ali yang dinilai shaduq).
2. Beristighfar walaupun dosa begitu banyak
Walau dosa kita begitu banyak sampai menjunjung tinggi ke langit—atau ada ulama yang menyebut sampai sejauh pandangan mata–, Allah akan ampuni.
Istighfar berarti meminta ampunan (maghfirah). Maghfirah artinya dilindungi dari kejelekan dosa dengan dosa itu ditutupi.
Dalam dalil juga sering ditemukan, istighfar itu disandingkan dengan taubat. Istighfar berarti meminta ampunan lewat lisan. Sedangkan taubat berarti melepaskan hati dan anggota badan dari dosa.
Adapun jika seseorang beristighfar dengan lisannya, namun dosa masih terus berlanjut, istighfar itu hanyalah menjadi doa, bisa jadi doa itu dikabulkan, bisa jadi doa itu tertolak. Karena dosa masih terus berlanjut, itulah yang jadi penghalang doa dalam istighfar tadi.
Istighfar yang paling afdal adalah yang diikuti dengan tidak terus menerus berbuat dosa. Inilah yang disebut taubatan nashuha, taubat yang tulus.
3. Tauhid sebab terbesar mendapatkan maghfirah
Inilah sebab yang paling besar. Siapa yang tidak mentauhidkan Allah, ia akan luput dari ampunan (maghfirah). Siapa yang mentauhidkan Allah, ia akan mendapatkan sebab-sebab datangnya ampunan.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Sebagian ulama berkata, “Ahli tauhid tidak dilemparkan di neraka seperti orang kafir. Yang melemparkan ahli tauhid pun tidak seperti yang melemparkan orang kafir. Ahli tauhid tidaklah kekal dalam neraka sebagaimana orang kafir. Jika semakin sempurna tauhid seorang hamba, ia akan mendapatkan ampunan seluruhnya, sama sekali ia tidak akan masuk neraka. Hal ini dengan catatan, ia memenuhi syarat sebagai ahli tauhid dengan lisan dan anggota badannya, atau dengan hati dan lisannya ketika meninggal dunia.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:417)
Tiga sebab mendapatkan ampunan di atas diringkas dari Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.
Faedah hadits
- Luasnya karunia Allah dan ampunan-Nya walau dosa hamba itu sangat banyak.
- Keutamaan berdoa kepada Allah dan mengharap kepada-Nya, di mana doa harus diiringi dengan rasa harap agar tidak jadi doa yang sia-sia.
- Manusia tidaklah maksum, artinya pasti berbuat salah. Maka bersegeralah untuk bertaubat agar dihapus kesalahan.
- Kita pasti bertemu Allah kelak.
- Siapa saja yang berdoa dan berharap kepada Allah, dosa-dosanya pasti akan diampuni oleh Allah.
- Allah mengampuni dosa seluruhnya walaupun dosa itu begitu besar.
- Ada lima syarat taubat menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah: (a) ikhlas, (b) menyesal atas apa yang telah terjadi, (c) meninggalkan maksiat yang ingin bertauba darinya, (d) bertekad tidak akan mengulanginya lagi, artinya tidak diniatkan untuk diulangi kembali, (e) bertaubat selama belum terlambat, yaitu sebelum datang ajal dan sebelum matahari terbit dari arah tenggelamnya. Sebagian ulama menyebutkan syarat taubat hanyalah tiga saja yaitu menyesal, menigggalkan, dan bertekad tidak mau mengulangi lagi. Namun, yang disebutkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, itulah yang lebih sempurna. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 433-437.
- Jika seseorang berbuat dosa, meskipun begitu besar, kemudian ketika berjumpa dengan Allah ia bersih dari dosa syirik, terhapuslah dosa-dosa yang begitu banyak tersebut.
- Keutamaan tauhid yang luar biasa karena siapa yang mati dalam keadaan tidak membawa dosa syirik, maka ia akan masuk surga.
Sumber https://rumaysho.com/25116-hadits-arbain-42-dosaku-terlalu-banyak-mungkinkah-taubatku-diterima.html
Bacalah Syarah Hadits ini
Dalam hadits qudsi ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan ada tiga hal yang bisa menghapuskan dosa seorang hamba. Tentunya kita semuanya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lepas dari dosa-dosa. Maka satu hal yang sangat penting bagi umat Islam adalah memikirkan bagaimana agar dosa-dosa mereka diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pada hadits yang ke-18 Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwasanya salah satu sebab penghapusan dosa adalah mengikuti keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskan keburukan itu.
Dihapuskan dosa artinya adalah dimaafkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah tidak menghisabnya dari kita, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari akibat buruk dosa itu.
Maka hadits qudsi ini menambahkan tiga hal lagi yang bisa kita lakukan agar diampuni dosa-dosa kita oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tiga hal tersebut adalah
Tetap berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak putus harapan
Menit ke-7:37 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi ini: “Wahai anak Adam, selagi engkau berdoa kepadaKu, selagi engkau berharap kepadaKu, maka niscaya Aku akan ampuni kesalahanmu sebanyak apapun itu, dan Aku tidak peduli.”
Allahu akbar.. Allah menegaskan bahwasannya sebanyak apapun dosa kita Allah akan ampuni, Allah tidak peduli sebesar dan sebanyak apapun dosa itu. Syaratnya adalah kita terus berdoa dan berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka sebesar apapun dosa, hendaknya kita senantiasa berharap ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menit ke-16:51 Istighfar adalah doa khusus. Yakni doa meminta agar kita diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maghfirah artinya adalah Allah memaafkan kita, Allah tidak menghisap kita dengan kesalahan tersebut, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dampak buruk maksiat yang sudah kita lakukan itu. Jadi saat istighfar kita meminta kepada Allah agar Allah mengampuni kita. Sehingga dosa tersebut dimaafkan, ditutup, tidak dihisab dan kita dilindungi dari dampak buruknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi yang agung ini: “Wahai anak Adam, kalau seandainya dosa-dosamu setinggi langit kemudian engkau beristighfar kepadaKu niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosa itu untukmu.”
Terkadang seorang hamba saking jatuhnya dalam kesalahan dan maksiat dia merasa rendah diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagian hamba Allah digoda oleh setan, dihalangi untuk taubat, dihalangi untuk beristighfar, dengan mengatakan “engkau sangat kotor dan rendah maka engkau tidak pantas untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Seorang muslim yang paham agamanya dengan baik tidak akan tergoda dengan retorika setan seperti itu. Dia tahu bahwasanya Allah akan mengampuni dosa-dosanya sebanyak apapun dosa-dosa itu. Bahkan kalau seandainya mencapai setinggi langit, bahkan kalau seandainya itu sepenuh bumi, sebanyak apapun itu Allah tidak peduli. Maka ketika salah dia segera memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang sifat orang-orang yang bertakwa:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ …
“Orang-orang bertakwa itu adalah orang-orang yang jika jatuh dalam perkara keji atau mendzalimi diri, mereka segera ingat Allah dan beristighfar kepadaNya.” (QS. Ali ‘Imran[3]: 135)
Jadi orang-orang yang bertakwa bukanlah orang yang sama sekali tidak pernah berbuat dosa. Mereka juga berbuat dosa, bahkan menurut ayat ini terkadang mereka jatuh dalam perkara keji (dosa besar). Atau terkadang mereka jatuh dalam kedzaliman terhadap diri sendiri (dosa-dosa kecil). Yang membedakan mereka dari orang-orang yang buruk adalah orang-orang yang fasik ini kalau jatuh dalam maksiat dan kesalahan kerasan (betah) terjerembab di sana. Mereka merasa diri kotor sehingga tidak pantas berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah orang-orang fasik.
Adapun orang-orang yang bertakwa ketika mereka sudah berusaha taat ternyata masih jatuh juga dalam kesalahan, yang membedakan mereka adalah segera ingat Allah kemudian beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tauhid dan Mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menit ke-33:03 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di akhir hadits qudsi ini: “Wahai anak Adam kalau seandainya engkau datang kepadaKu dengan sepenuh bumi dosa, kemudian engkau datang kepadaKu dalam keadaan engkau tidak berbuat syirik kepadaKu dengan sesuatupun, maka Aku akan datang kepadamu dengan sepenuh bumi ampunan.”
Kalau seandainya seorang hamba memiliki sepenuh bumi dosa, saking banyaknya dosanya maka dari ujung ke ujung ke ujung bumi ini dipenuhi dengan dosa-dosa. Allah berjanji akan mendatangkan sepenuh bumi ampunan. Allahu akbar.
Bagaimana caranya? Syaratnya adalah dengan datang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali.
Maka ini harus menjadi cita-cita seorang mukmin. Hadits ini harus menginspirasi setiap muslim. Dia harus berusaha tidak dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali diatas keadaan tauhid. Jangan sampai berbuat syirik, apalagi meregang nyawa dalam keadaan berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan bahwasanya tauhid adalah sebab yang paling agung untuk pengampunan dosa. Kalau seorang datang kepada Allah dengan tauhid saat dia dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia sudah membawa tiket yang paling istimewa, penyebab ampunan dosa yang paling besar. Karena tauhid adalah intisari ajaran agama Islam, bahkan ajaran semua Nabi.
Maka hadits ini menegaskan bahwasanya kalau seorang hamba wafat diatas tauhid, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya meskipun dosa itu sepenuh bumi.
Inilah keutamaan tauhid yang juga ditegaskan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surah Al-An’am ayat 82:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzaliman, maka mereka akan mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am[6]: )
Saat mendengar ayat ini para sahabat merasa berat. Syaratnya sangat berat. Karena untuk bisa selamat dunia dan akhirat, agar bisa mendapatkan hidayah, seseorang disyaratkan harus yang beriman kemudian tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzaliman. Siapa di antara kita yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri? Ini adalah pemahaman para sahabat ketika mendengar ayat ini. Tapi kemudian pemahaman itu diluruskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud bukanlah kedzaliman secara mutlak, tapi maksudnya adalah kedzaliman akbar, yaitu berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.